Modus Penipuan Kavling yang Terungkap
Kasus penipuan jual beli kavling di kawasan Pondok Pesantren Istana Mulia, Serang, kembali mencuat setelah aparat kepolisian menetapkan seorang pria berinisial AM (49) sebagai tersangka. Peristiwa ini bermula pada 2017, ketika seorang korban bernama Miseono dijanjikan sebidang kavling tanah seluas 300 meter dengan pembayaran secara bertahap.
Korban telah melunasi kewajiban hingga Rp 57 juta, namun kavling yang dijanjikan tidak pernah terealisasi. Fakta lapangan menunjukkan tanah yang seharusnya dialihkan kepada korban masih berupa hutan belantara.
Bahkan, perjanjian jual beli hanya dituangkan dalam akta PJB dengan objek tanah berbeda, sehingga menimbulkan kerugian nyata bagi pembeli. Skema ini menimbulkan kejanggalan sejak awal, tetapi baru terbongkar ketika semakin banyak korban melapor. Dari sinilah polisi mulai mendalami pola penipuan yang dilakukan tersangka.
Dalam penyelidikan, terungkap bahwa tersangka menggunakan pola serupa untuk menjaring konsumen lainnya. Ia memanfaatkan dokumen legalitas yang terlihat sah di permukaan, namun tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Situasi ini membuat masyarakat tertipu oleh janji-janji investasi kavling murah dan prospektif.
Ratusan Korban dan Kerugian Besar
Polda Banten mencatat saat ini terdapat delapan laporan resmi dari korban yang masuk ke kepolisian. Dari laporan tersebut, kerugian yang berhasil diinventarisasi mencapai Rp 762 juta. Namun, hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan adanya 73 konsumen tambahan yang dirugikan, dengan total kerugian mencapai lebih dari Rp 6 miliar.
Perhitungan keseluruhan memperlihatkan nilai kerugian total mencapai Rp 6,83 miliar. Pengakuan tersangka justru lebih mengejutkan, karena ia mengakui praktiknya telah menjaring sekitar 500 konsumen.
Dari jumlah tersebut, sebagian masih menjalani cicilan, sementara lainnya sudah melunasi pembayaran. Data ini mengindikasikan potensi kerugian yang lebih besar daripada yang saat ini dilaporkan. Hal ini menggambarkan skema penipuan yang terstruktur, sistematis, dan berjalan cukup lama.
Bagi korban, kerugian tidak hanya bersifat materi, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis. Mereka merasa ditipu oleh seseorang yang menjanjikan aset nyata berupa tanah, namun akhirnya hanya mendapatkan kertas perjanjian tanpa dasar hukum yang kuat. Fenomena ini kembali mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli aset properti.
Upaya Penegakan Hukum dan Penangkapan
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, AM sempat menghilang dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak Juni 2024. Beberapa kali panggilan penyidik diabaikan, hingga diketahui ia melarikan diri ke luar negeri, termasuk ke Yordania dan Arab Saudi.
Upaya pelarian ini membuat proses hukum terhambat, tetapi polisi tetap melacak keberadaannya. Akhirnya, tersangka berhasil ditangkap pada 5 September 2025 di sebuah perumahan di Bogor Selatan, Jawa Barat.
Penangkapan ini menjadi titik balik dalam penyelesaian kasus, sekaligus memberi harapan kepada para korban. Dengan tertangkapnya tersangka, polisi dapat menelusuri lebih jauh aliran dana yang dihimpun dari praktik penipuan tersebut.
Atas perbuatannya, AM dijerat Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Kedua pasal tersebut menjerat tersangka dengan ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun. Proses hukum selanjutnya akan menentukan sejauh mana kerugian bisa dipulihkan melalui jalur pidana maupun perdata.
Imbauan bagi Korban dan Masyarakat
Polda Banten menyerukan kepada masyarakat yang merasa menjadi korban agar segera melaporkan ke pihak kepolisian. Langkah ini penting untuk memperkuat data jumlah korban sekaligus memperbesar peluang pengembalian kerugian melalui mekanisme hukum. Setiap laporan akan diproses sesuai prosedur yang berlaku, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan lebih jauh.
Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat luas dalam melakukan transaksi properti. Verifikasi legalitas dokumen tanah, keabsahan lokasi, hingga izin pengelolaan lahan harus dilakukan secara cermat. Jangan hanya tergiur dengan harga murah atau iming-iming investasi cepat balik modal.
Dengan meningkatnya kasus serupa, penegakan hukum di bidang properti memerlukan dukungan semua pihak. Masyarakat diharapkan lebih kritis dalam memilih proyek investasi kavling, sementara pemerintah dan aparat hukum dituntut meningkatkan pengawasan agar kasus serupa tidak terus berulang.